Kamis, 06 September 2012

KEPITING

I.       PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang

Wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai macam tipologi habitat serta keanekaragaman biota yang tinggi. Kanekaragaman hayati tersebut merupakan sumber kehidupan yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan atau perdagangan, sehingga keberadaannya sangat rawan terhadap kepunahan akibat aktifitas kehidupan dan pembangunan. Beberapa bentuk ancaman kelestarian keanekaragaman hayati antara lain karena pencemaran, eksploitasi sumber daya alam untuk perdagangan, penebangan hutan dan sebagainya.
Salah satu bentuk ekosistem pesisir Indonesia adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang unik merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial, mendukung hidupnya keanekaragaman flora dan fauna. Komunitas terestris akuatik yang ada di dalamnya secara langsung atau tidak langsung berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan (ekologi). Tetapi ekosistem ini sangat mudah dipengaruhi oleh ekosistem yang ada di sekitarnya serta sulit untuk dipulihkan kembali jika terjadi degradasi.
Ekosistem pesisir memiliki bermacam-macam fungsi, antara lain fungsi fisik, biologis dan sosial ekonomis. Fungsi biologis yang dimiliki kawasan pesisir antara lain sebagai daerah asuhan (nursery grund), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber plasma nutfah (Rahmawaty, 2006).
Diantara sekian banyak fungsi tersebut, fungsi ekosistem pesisir yang terpenting adalah sebagai daerah asuhan, mencari makan dan daerah pemijahan bagi ikan, udang, kepiting, moluska serta vertebrata lainnya. Daerah ini terbentuk secara alamiah yang  membuat suasana yang aman dan nyaman bagi hewan-hewan tersebut bertelur, mencari makan dan membesarkan anak sebelum kembali ke laut menjelang fase dewasa (MacKinnon, et al., 2000).
Seluruh fauna yang hidup di dalam ekositem pesisir mempunyai peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan ekologi. Sekian banyak fauna yang hidup terdapat beberapa spesies kunci (keystone species) yang memegang peranan yang sangat penting. Salah satu spesies tersebut adalah kepiting yang hidup di dalam ekosistem pesisir. Kepiting diusulkan sebagai keystone species di kawasan pesisir karena setiap aktivitasnya mempunyai pengaruh utama pada berbagai proses paras ekosistem. Peran kepiting di dalam ekosistem diantaranya mengkonversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi, meningkatkan distribusi oksigen di dalam tanah, membantu daur hidup karbon, serta tempat penyedia makanan alami bagi berbagai jenis biota perairan (Prianto, 2007).

B.           Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk mengenal kepiting dari berbagai aspek, baik morfologi, daur hidup, habitatnya maupun metode sampling yang digunakan dalam penelitian.

II.          MORFOLOGI DAN ANATOMI KEPITING
Kepiting adalah binatang crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura = ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax. Hewan ini dikelompokkan ke dalam Phylum Athropoda, Sub Phylum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Suborder Pleocyemata dan Infraorder Brachyura. Tubuh kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton (kerangka luar) yang sangat keras, dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting hidup di air laut, air tawar dan darat dengan ukuran yang beraneka ragam, dari pea crab, yang lebarnya hanya beberapa milimeter, hingga kepiting laba-laba Jepang, dengan rentangan kaki hingga 4 m (Anonim, 2008).
Menurut Prianto (2007), walaupun kepiting mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh. Seluruh kepiting mempunyai chelipeds dan empat pasang kaki jalan (Gambar 1 dan 2). Pada bagian kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit, chelipeds terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata dalam menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh kepiting juga ditutupi dengan  Carapace. Carapace merupakan kulit yang keras atau dengan istilah lain exoskeleton (kulit luar) berfungsi untuk melindungi organ dalam bagian kepala, badan dan insang.
Kepiting sejati mempunyai lima pasang kaki; sepasang kaki yang pertama dimodifikasi menjadi sepasang capit dan tidak digunakan untuk bergerak. Di hampir semua jenis kepiting, kecuali beberapa saja (misalnya, Raninoida), perutnya terlipat di bawah cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh maxilliped yang rata, dan bagian depan dari carapace tidak membentuk sebuah rostrum yang panjang. Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih (phyllobranchiate), mirip dengan insang udang, namun dengan struktur yang berbeda. Insang yang terdapat di dalam tubuh berfungsi untuk mengambil oksigen biasanya sulit dilihat dari luar. Insang terdiri dari struktur yang lunak terletak di bagian bawah carapace. Sedangkan mata menonjol keluar berada di bagain depan carapace.



Berdasarkan anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan terletak pada bagian bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam memegang makanan dan juga memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting memiliki rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal ini menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan sapit dalam memperoleh makanan. Makanan yang diperoleh dihancurkan dengan menggunakan sapit, kemudian baru dimakan (Shimek, 2008). 

Kepiting bakau ukurannya bisa mencapai lebih dari 20 cm. Sapit pada jantan dewasa lebih panjang dari pada sapit betina. Kepiting yang bisa berenang ini terdapat hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, terutama di daerah mangrove, di daerah tambak air payau, muara sungai, tetapi jarang ditemukan di pulau-pulau karang (Nontji, 2002). Disamping morfologi sapit, kepiting jantan dan betina dapat dibedakan juga berdasarkan ukuran abdomen, dimana abdomen jantan lebih sempit dari pada abdomen betina (Gambar 4).



Irmawati (2005) melaporkan bahwa, kepiting bakau dapat diidentifikasi dengan mengamati ciri-ciri meristik dan morfometril serta pola warna dengan mengacu pada kunci identifikasi Keenan, Carpenter dan Niem (l998). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan warna, bentuk duri pada frontal dan jumlah duri pada karpus, teridentifkasi 3 spesies kepiting bakau di kawasan Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, yaitu Scylla olivacea, Scylla serrata dan Scylla paramamosain dimana Scylla olivacea adalah jenis yang dominan, yaitu 92% dari total sampel. Terdapat perbedaan karakter meristik yang dimiliki oleh ketiga spesies kepiting bakau yang ditemukan di kawasan mangrove tersebut.
Sebagian besar kepiting yang hidup di mangrove memperlihatkan adaptasi morfologis saat bernafas ketika berada di darat. Ukuran insang kepiting berkorelasi dengan habitat dan aktivitas metabolik. Spesies intertidal di daerah temperate umumnya telah mereduksi luas insang dibanding dengan spesies akuatik. Gejala ini terjadi pada spesies kepiting mangrove Ocypode  dan Uca  yang mempunyai beberapa filamen insang dibanding kerabat dekatnya di spesies akuatik. Filamen insang mengeras sebagai pemelihara bentuk, orientasi  dan fungsi tubuh bila kepiting keluar dari air. Celah insang menjadi vaskular dan dapat berfungsi sebagai paru-paru. Kepiting ini memompa udara melalui udara yang tertahan di dalam celah insang yang harus diperbaharui secara teratur dengan sering masuk ke dalam air (Hutching, dan Saenger, 2001 dalam Prianto, 2007).
Menurut Prianto (2007) bahwa, bagian tubuh kepiting juga dilengkapi bulu dan rambut sebagai indera penerima. Bulu-bulu terdapat hampir di seluruh tubuh tetapi sebagian besar bergerombol pada kaki jalan. Untuk menemukan makanannya kepiting menggunakan rangsangan bahan kimia yang dihasilkan oleh organ tubuh. Antena memiliki indera penciuman yang mampu merangsang kepiting untuk mencari makan. Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan kontak langsung dengan makanan, chelipeds dengan cepat menjepit makanan tersebut dan langsung dimasukkan ke dalam mulut. Mulut kepiting juga memiliki alat penerima sinyal yang sangat sensitif untuk mendeteksi bahan-bahan kimia. Kepiting mengandalkan kombinasi organ perasa untuk menemukan makanan, pasangan dan menyelamatkan diri dari predator.
Kepiting memiliki sepasang mata yang terdiri dari beberapa ribu unit optik. Matanya terletak pada tangkai, dimana mata ini dapat dimasukkan ke dalam rongga pada carapace ketika dirinya terancam. Kadang-kadang kepiting dapat mendengar dan menghasilkan berbagai suara. Hal yang menarik pada berbagai spesies ketika masa kawin, sang jantan mengeluarkan suara yang keras dengan menggunaklan chelipeds-nya atau menggetarkan kaki jalannya untuk menarik perhatian sang betina. Setiap spesies memiliki suara yang khas, hal ini digunakan untuk menarik sang betina atau untuk menakut-nakuti pejantan lainnya



III.       DAUR HIDUP KEPITING

Seperti hewan air lainnya reproduksi kepiting terjadi di luar tubuh, hanya saja sebagian kepiting meletakkan telur-telurnya pada tubuh sang betina. Kepiting betina biasanya segera melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi sang betina memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan hingga beberapa bulan lamanya. Telur yang akan dibuahi selanjutnya dimasukkan pada tempat (bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur ini akan ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen).  Jumlah telur yang dibawa tergantung pada ukuran kepiting. Beberapa spesies dapat membawa puluhan hingga ribuan telur ketika terjadi pemijahan. Telur ini akan menetas setelah beberapa hari kemudian menjadi larva (individu baru) yang dikenal dengan “zoea”. Ketika melepaskan zoea ke perairan, sang induk menggerak-gerakkan perutnya untuk membantu zoea agar dapat dengan mudah lepas dari abdomen. Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai plankton dan melakukan moulting beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di dasar perairan sebagai hewan dasar (Prianto, 2007). Daur hidup kepiting dapat dilihat pada Gambar 5.
Daur hidup kepiting meliputi telur, larva (zoea dan megalopa), post larva atau juvenil, anakan dan dewasa (Gambar 5 dan 8). Perkembangan embrio dalam telur mengalami 9 fase (Juwana, 2004). Larva yang baru ditetaskan (tahap zoea) bentuknya lebih mirip udang dari pada kepiting (Gambar 6). Di kepala terdapat semacam tanduk yang memanjang, matanya besar dan di ujung kaki-kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoae ini juga terdiri dari 4 tingkat untuk kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk yang lain lagi (Gambar 6 dan 7). Larva kepiting berenang dan terbawa arus serta hidup sebagai plankton (Nontji, 2002). Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa larva kepiting hanya mengkonsumsi fitoplankton beberapa saat setelah menetas dan segera setelah itu lebih cenderung memilih zooplankton sebagai makanannya (Umar, 2002). Keberadaan larva kepiting di perairan dapat menentukan kualitas perairan tersebut, karena larva kepiting sangat sensitif terhadap perubahan kualitas perairan (Sara, dkk., 2006).
IV.       HABITAT DAN PENYEBARAN KEPITING
Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai kolom di setiap perairan. Sebagaian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis yang hidup dalam ekosistem ini adalah Hermit Crab, Uca sp, Mud Lobster dan kepiting bakau. Sebagian besar kepiting merupakan fauna yang aktif mencari makan di malam hari (nocturnal) (Prianto, 2007).
Kepiting pada fase larva (zoea dan megalopa) hidup di dalam air sebagai plankton. Kepiting mulai kehidupan di darat setelah memasuki fase juvenil dan dewasa seiring dengan pembentukan carapace. Ilustrasi ini dapat dilihat pada Gambar 9, dimana yang menjadi contoh pada gambar tersebut adalah kepiting kelapa. Sedangkan habitat dan penyebaran kepiting (dalam contoh kepiting merah Cancer magister) di estuary dan zona intertidal terlihat pada Gambar 10.   
Kepiting dan rajungan tergolong dalam satu suku (familia) yakni Portunidae dan seksi (sectio) Brachyura. Cukup banyak jenis yang termasuk dalam suku ini. Dr. kasim Moosa yang banyak menggeluti taksonomi kelompok ini mengemukakan bahwa di Indo-Pasifik Barat saja diperkirakan ada 234 jenis, dan di Indonesia ada 124 jenis. Di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu diperkirakan ada 46 jenis. Tetapi dari sekian jenis ini, hanya ada beberapa saja yang banyak dikenal orang karena biasa dimakan, dan tentu saja berukuran agak besar. Jenis yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena terlalu kecil dan hampir tidak mempunyai daging yang berarti. Beberapa jenis yang dapat dimakan ternyata juga dapat menimbulkan keracunan (Nontji, 2002).
Menurut Prianto (2007), bahwa di seluruh dunia terdapat lebih dari 1000 spesies kepiting yang dikelompokkan  ke dalam 50 famili. Sebagian besar kepiting hidup di laut, tersebar di seluruh lautan mulai dari zona supratidal hingga di dasar laut yang paling dalam. Sebagian jenis kepiting ada yang hidup di air tawar. Keanekaragaman kepiting yang paling tinggi ada di daerah tropis dan di selatan Australia, disini lebih dari 100 jenis kepiting telah diidentifikasi.
Konsentrasi maksimum kepiting terjadi pada malam hari pada saat air pasang. Kebanyakan kepiting memanjat akar mangrove dan pohon untuk mencari makan. Pada saat siang hari, waktu pasang terendah kebanyakan kepiting tinggal di dalam lubang untuk berlindung dari serangan burung dan predator lainnya. Beberapa spesies seperti Sesarma erythrodactyla dan Paragrapsus laevis pada saat air surut, turun ke bawah untuk berasosiasi dengan telur-telur ikan.
Kepiting mangrove seperti Scylla serrata (Mud Crab) merupakan hewan yang hidup di wilayah estuaria dengan didukung oleh vegetasi mangrove. Hewan ini merupakan hewan omnivora dan kanibal, memakan kepiting lainnya, kerang dan bangkai ikan. Kepiting ini dapat tumbuh sampai ukuran 25 cm atau dengan berat mencapai 2 kg, dimana kepiting betina ukurannya lebih besar dari yang jantan (DPI & F, 2003).

Selain kepiting atau rajungan, masih banyak jenis lainnya dari seksi Brachyura yang mempunyai ciri-ciri bentuk, sifat-sifat hidup dan lingkungan yang berbeda-beda. Di daerah pasang surut dengan hamparan pasir yang luas di daerah-daerah tertentu dapat ditemukan kepiting Myctyris, nama Inggrisnya adalah soldier crab sedangkan disini sering diberi julukan tentara Jepang. Di pantai dekat Merauke, jika air sedang surut, mereka bisa terlihat bergerak kian kemari di atas pasir, serentak dalam gerombolan besar yang terdiri dari ratusan atau ribuan individu, dengan penuh kewaspadaan. Dengan sedikit saja gangguan, misalnya dengan langkah seseorang yang mendekat, maka tiba-tiba saja mereka akan lenyap seketika secara serempak, memasuki lubang perlindungan. Baru setelah situasi dianggap aman, mereka akan ke luar lagi beramai-ramai hilir mudik di atas pasir (Nontji, 2002).  
V.          KEPITING SEBAGAI KEYSTONE SPECIES

Spesies kunci (keystone species) adalah suatu spesies yang menentukan kelulushidupan sejumlah spesies lain. Dengan kata lain spesies kunci adalah spesies yang keberadaannya menyumbangkan suatu keragaman hidup dan kepunahannya secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan lain (Power & Mills, 1995 dalam Prianto, 2007).

Secara tindak langsung melalui pola tingkah laku dan kebiasaannya, kepiting telah memberikan manfaat yang besar terhadap keberlangsungan proses biologi di dalam ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove. Menurut Prianto (2007), beberapa peran kepiting di dalam ekosistem pesisir, adalah sebagai berikut:
1.            konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi; Kepiting berfungsi menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil (ukuran detritus) sehingga mikrofauna dapat dengan mudah menguraikannya. Hal ini menjadikan adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan detrivor, mikroba sebagai pengurai;
2.            meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah; Lubang yang dibangun berbagai jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan dalam mencari makan. Disamping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi untuk komunikasi antar vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan melewatkan oksigen yang masuk ke substrat yang lebih dalam sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik;
3.            membantu daur hidup karbon; Dalam daur hidup karbon, unsur karbon bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting dalam hal ini sangat penting dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang merupakan jalur biogeokimia karbon, selain dalam proses respirasinya;
4.            penyedia makanan alami; Dalam siklus hidupnya kepiting menghasilkan ratusan bahkan pada beberapa spesies dapat menghasilkan ribuan larva dalam satu kali pemijahan. Larva-larva ini merupakan sumber makanan bagi biota-biota perairan, seperti ikan. Larva kepiting bersifat neuston yang berarti melayang-layang dalam tubuh perairan, sehingga merupakan makanan bagi ikan-ikan karnivora.





VI.       METODE SAMPLING KEPITING

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena ditemukan berbagai ekosistem mulai dari daerah pasang surut, estuaria, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut. Kepiting merupakan biota khas yang hidup di wilayah pesisir terutama di hutan mangrove dan pantai berpasir.
Larva kepiting yang hidup di wilayah perairan tergolong dalam kelompok plankton. Plankton umumnya berukuran kecil, jumlahnya di perairan relatif sangat tidak padat. Oleh karena itu, pengambilan sampel plankton harus dilakukan dengan alat yang dapat menyaring air sedemikian rupa sehingga plankton yang tersaring cukup jumlahnya untuk dianalisis. Untuk keperluan ini alat khusus yang biasa digunakan adalah jaring plankton (plankton net). Setiap mata jaring yang digunakan ukurannya (mesh size) harus berbeda, tergantung dari plankton yang akan dikumpulkan, apakah itu fitoplankton atau zooplankton. Jika yang diinginkan fitoplankton, maka ukuran mata jaring harus kecil, demikian sebaliknya untuk zooplankton (Fachrul, 2007).
Menurut Sara, dkk. (2006) bahwa, sampling larva kepiting (Scylla spp.) di perairan dilakukan dengan menggunakan alat miller net high speed yang dimodifikasi. Spesifikasi alat tersebut yaitu, mata jaring berukuran 300 µm, diameter mulut jaring 20 cm, panjang jaring 100 cm dan panjang lengan (pegangan) 100 cm. Alat sampling ini digunakan dengan cara diayunkan dari atas ke bawah permukaan air terus-menerus selama 10-20 menit dengan kecepatan yang sama. Sampel larva kepiting yang diperoleh difiksasi dengan larutan formalin 4%.
Sedangkan menurut Fachrul (2007), untuk sampling zooplankton yang berukuran besar, seperti larva kepiting, dapat digunakan jaring dengan diameter mulut jaring 0,45 m, panjang 2,10 m dan ukuran mata jaring 0,50 mm. Selain itu juga sampling plankton dapat dilakukan dengan menyaring air sebanyak 100 liter dari lokasi sampling, dengan menggunakan water sampler 10 liter atau penyaringan dapat pula dilakukan dengan menggunakan ember ukuran 5 liter sebanyak 20 kali penyaringan.
Air yang terkumpul kemudian disaring dengan plankton net dimana jaring plankton tersebut telah dilengkapi dengan tabung pengumpul plankton yang mempunyai ukuran 25 ml. Selanjutnya sampel plankton yang terjebak ditampung dalam tabung pengumpul plankton dan diawetkan dengan lugol atau formalin 4% yang telah dinetralkan dengan boraks atau alkohol 70% dan diberi label. Pencacahan zooplankton dilakukan dilaboratorium dengan menggunakan kaca pembesar atau mikroskop dan dihitung berdasarkan jumlah individu yang terlihat.
Sampling juvenil dan kepiting dewasa biasanya dilakukan dengan menggunakan perangkap dengan model yang beraneka ragam. Menurut DPI & F (2005), perangkap kepiting yang digunakan dalam pengambilan sampel berupa pot yang disebar di beberapa lokasi sampling. Tiap-tiap pot diberi nomor yang berbeda-beda sesuai titik sampel untuk memudahkan dalam identifikasi lokasi. Selain itu juga sampling kepiting dewasa dapat dilakukan dengan menggunakan perangkap yang terbuat dari kawat atau jaring dimana biasanya di dalam perangkap tersebut diberikan umpan dengan jenis dan jumlah yang sama. Berbagai model perangkap kepiting dapat dilihat pada Gambar 11.     


Gambar 11. Berbagai bentuk perangkap kepiting (Sumber: http://www.fao.org, 2008)

DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2007. Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik Perbenihannya, (Online), (http://www.utkampus.net, diakses 1 Mei 2008)

---------. 2008. Kepiting, (Online), (http://mangrove.unila.ac.id, diakses 21 April 2008).

Davey, K. 2000. Decapod Crabs Reproduction and Development, (Online), (http://www.mesa.edu.au, diakses 1 Mei 2008).

DPI & F. 2003. Fish Guide. Saltwater, Freshwater and Noxious Species, (Online), The Great Outdoors Publications, Brisbane, (www2.dpi.qld.gov.au, diakses 13 Mei 2008).

DPI & F. 2005. Fisheries Long Term Monitoring Program Sampling Protocol Mud Crab: (2000 – 2005), (Online), Department of Primary Industries and Fisheries, (http://www2.dpi.qld.gov.au, diakses 14 Mei 2008).

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

Hsieh, H.L. 2004. Towards Wetland Restoration for the "Wetland Three Musketeers”, A Horseshoe Crab, A Fiddler Crab, and A Coconut Crab, (Online), Research Center for Biodiversity, Academia Sinica, Taipei, (biodiv.sinica.edu.tw, diakses 14 Mei 2008).

Irmawati. 2005. Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau Scylla sp Di Kawasan Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, Lembaga Penelitian UNHAS, (Online), (http://www.unhas.ac.id, diakses 30 April 2008).

Juwana,  S. 2004. Penelitian Budi Daya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman Laboratorium dan lapangan, Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H. & Mangalik, A. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.

Quinitio, E.T. & Parado, E.F.D. 2003. Biology and Hatchery of the Mud Crabs Scylla spp. Aquaculture Extension Manual, (Online), No. 34, SEAFDEC Aquaculture Department, Iloilo, Philippines (rfdp.seafdec.org.ph, diakses 15 Mei 2008).

Rahmawaty. 2006. Upaya Pelestarian Mangrove Berdasarkan Pendekatan Masyarakat (Online), Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, (http://library usu.ac.id, diakses 2 April 2008).

Sara, L. dkk. 2006. Abundance and Distribution Patterns of Scylla spp. Larvae in the Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia, Asian Fisheries Science, (Online), Vol. 19; 331-347, (www.asianfisheriessociety.org, diakses 1 Mei 2008).

Shimek, R.L. 2008. Crabs, (Online), (www.reefkeeping.com, diakses 15 Mei  2008).

Umar, N.A. 2002. Hubungan antara Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton (Kopepoda) dengan Larva Kepiting di Perairan Teluk Siddo Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, (Online), IPB.

www.environment.gov.au. 2007. Red Crabs Gecarcoidea natalis  (Pocock, 1888), (Online), (diakses 15 Mei 2008).

www.fao.org. 2008. Trap Crab, (Online), (diakses 15 Mei 2006).

www.nio.org.gif. 2008. Crab Life Cycle, (Online), (diakses 15 Mei 2006).

www.portofpeninsula.org. 1997. Crab. Washington State Department of Fish & Wildlife, (Online), (diakses 15 Mei 2008).

www.shim.bc.ca. 2008. Red Rock Crab, (Online), (diakses 15 Mei 2008).











KEPITING

I.       PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang

Wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai macam tipologi habitat serta keanekaragaman biota yang tinggi. Kanekaragaman hayati tersebut merupakan sumber kehidupan yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan atau perdagangan, sehingga keberadaannya sangat rawan terhadap kepunahan akibat aktifitas kehidupan dan pembangunan. Beberapa bentuk ancaman kelestarian keanekaragaman hayati antara lain karena pencemaran, eksploitasi sumber daya alam untuk perdagangan, penebangan hutan dan sebagainya.
Salah satu bentuk ekosistem pesisir Indonesia adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang unik merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial, mendukung hidupnya keanekaragaman flora dan fauna. Komunitas terestris akuatik yang ada di dalamnya secara langsung atau tidak langsung berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan (ekologi). Tetapi ekosistem ini sangat mudah dipengaruhi oleh ekosistem yang ada di sekitarnya serta sulit untuk dipulihkan kembali jika terjadi degradasi.
Ekosistem pesisir memiliki bermacam-macam fungsi, antara lain fungsi fisik, biologis dan sosial ekonomis. Fungsi biologis yang dimiliki kawasan pesisir antara lain sebagai daerah asuhan (nursery grund), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber plasma nutfah (Rahmawaty, 2006).
Diantara sekian banyak fungsi tersebut, fungsi ekosistem pesisir yang terpenting adalah sebagai daerah asuhan, mencari makan dan daerah pemijahan bagi ikan, udang, kepiting, moluska serta vertebrata lainnya. Daerah ini terbentuk secara alamiah yang  membuat suasana yang aman dan nyaman bagi hewan-hewan tersebut bertelur, mencari makan dan membesarkan anak sebelum kembali ke laut menjelang fase dewasa (MacKinnon, et al., 2000).
Seluruh fauna yang hidup di dalam ekositem pesisir mempunyai peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan ekologi. Sekian banyak fauna yang hidup terdapat beberapa spesies kunci (keystone species) yang memegang peranan yang sangat penting. Salah satu spesies tersebut adalah kepiting yang hidup di dalam ekosistem pesisir. Kepiting diusulkan sebagai keystone species di kawasan pesisir karena setiap aktivitasnya mempunyai pengaruh utama pada berbagai proses paras ekosistem. Peran kepiting di dalam ekosistem diantaranya mengkonversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi, meningkatkan distribusi oksigen di dalam tanah, membantu daur hidup karbon, serta tempat penyedia makanan alami bagi berbagai jenis biota perairan (Prianto, 2007).

B.           Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk mengenal kepiting dari berbagai aspek, baik morfologi, daur hidup, habitatnya maupun metode sampling yang digunakan dalam penelitian.

II.          MORFOLOGI DAN ANATOMI KEPITING
Kepiting adalah binatang crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura = ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax. Hewan ini dikelompokkan ke dalam Phylum Athropoda, Sub Phylum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Suborder Pleocyemata dan Infraorder Brachyura. Tubuh kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton (kerangka luar) yang sangat keras, dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting hidup di air laut, air tawar dan darat dengan ukuran yang beraneka ragam, dari pea crab, yang lebarnya hanya beberapa milimeter, hingga kepiting laba-laba Jepang, dengan rentangan kaki hingga 4 m (Anonim, 2008).
Menurut Prianto (2007), walaupun kepiting mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh. Seluruh kepiting mempunyai chelipeds dan empat pasang kaki jalan (Gambar 1 dan 2). Pada bagian kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit, chelipeds terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata dalam menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh kepiting juga ditutupi dengan  Carapace. Carapace merupakan kulit yang keras atau dengan istilah lain exoskeleton (kulit luar) berfungsi untuk melindungi organ dalam bagian kepala, badan dan insang.
Kepiting sejati mempunyai lima pasang kaki; sepasang kaki yang pertama dimodifikasi menjadi sepasang capit dan tidak digunakan untuk bergerak. Di hampir semua jenis kepiting, kecuali beberapa saja (misalnya, Raninoida), perutnya terlipat di bawah cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh maxilliped yang rata, dan bagian depan dari carapace tidak membentuk sebuah rostrum yang panjang. Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih (phyllobranchiate), mirip dengan insang udang, namun dengan struktur yang berbeda. Insang yang terdapat di dalam tubuh berfungsi untuk mengambil oksigen biasanya sulit dilihat dari luar. Insang terdiri dari struktur yang lunak terletak di bagian bawah carapace. Sedangkan mata menonjol keluar berada di bagain depan carapace.



Berdasarkan anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan terletak pada bagian bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam memegang makanan dan juga memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting memiliki rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal ini menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan sapit dalam memperoleh makanan. Makanan yang diperoleh dihancurkan dengan menggunakan sapit, kemudian baru dimakan (Shimek, 2008). 

Kepiting bakau ukurannya bisa mencapai lebih dari 20 cm. Sapit pada jantan dewasa lebih panjang dari pada sapit betina. Kepiting yang bisa berenang ini terdapat hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, terutama di daerah mangrove, di daerah tambak air payau, muara sungai, tetapi jarang ditemukan di pulau-pulau karang (Nontji, 2002). Disamping morfologi sapit, kepiting jantan dan betina dapat dibedakan juga berdasarkan ukuran abdomen, dimana abdomen jantan lebih sempit dari pada abdomen betina (Gambar 4).



Irmawati (2005) melaporkan bahwa, kepiting bakau dapat diidentifikasi dengan mengamati ciri-ciri meristik dan morfometril serta pola warna dengan mengacu pada kunci identifikasi Keenan, Carpenter dan Niem (l998). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan warna, bentuk duri pada frontal dan jumlah duri pada karpus, teridentifkasi 3 spesies kepiting bakau di kawasan Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, yaitu Scylla olivacea, Scylla serrata dan Scylla paramamosain dimana Scylla olivacea adalah jenis yang dominan, yaitu 92% dari total sampel. Terdapat perbedaan karakter meristik yang dimiliki oleh ketiga spesies kepiting bakau yang ditemukan di kawasan mangrove tersebut.
Sebagian besar kepiting yang hidup di mangrove memperlihatkan adaptasi morfologis saat bernafas ketika berada di darat. Ukuran insang kepiting berkorelasi dengan habitat dan aktivitas metabolik. Spesies intertidal di daerah temperate umumnya telah mereduksi luas insang dibanding dengan spesies akuatik. Gejala ini terjadi pada spesies kepiting mangrove Ocypode  dan Uca  yang mempunyai beberapa filamen insang dibanding kerabat dekatnya di spesies akuatik. Filamen insang mengeras sebagai pemelihara bentuk, orientasi  dan fungsi tubuh bila kepiting keluar dari air. Celah insang menjadi vaskular dan dapat berfungsi sebagai paru-paru. Kepiting ini memompa udara melalui udara yang tertahan di dalam celah insang yang harus diperbaharui secara teratur dengan sering masuk ke dalam air (Hutching, dan Saenger, 2001 dalam Prianto, 2007).
Menurut Prianto (2007) bahwa, bagian tubuh kepiting juga dilengkapi bulu dan rambut sebagai indera penerima. Bulu-bulu terdapat hampir di seluruh tubuh tetapi sebagian besar bergerombol pada kaki jalan. Untuk menemukan makanannya kepiting menggunakan rangsangan bahan kimia yang dihasilkan oleh organ tubuh. Antena memiliki indera penciuman yang mampu merangsang kepiting untuk mencari makan. Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan kontak langsung dengan makanan, chelipeds dengan cepat menjepit makanan tersebut dan langsung dimasukkan ke dalam mulut. Mulut kepiting juga memiliki alat penerima sinyal yang sangat sensitif untuk mendeteksi bahan-bahan kimia. Kepiting mengandalkan kombinasi organ perasa untuk menemukan makanan, pasangan dan menyelamatkan diri dari predator.
Kepiting memiliki sepasang mata yang terdiri dari beberapa ribu unit optik. Matanya terletak pada tangkai, dimana mata ini dapat dimasukkan ke dalam rongga pada carapace ketika dirinya terancam. Kadang-kadang kepiting dapat mendengar dan menghasilkan berbagai suara. Hal yang menarik pada berbagai spesies ketika masa kawin, sang jantan mengeluarkan suara yang keras dengan menggunaklan chelipeds-nya atau menggetarkan kaki jalannya untuk menarik perhatian sang betina. Setiap spesies memiliki suara yang khas, hal ini digunakan untuk menarik sang betina atau untuk menakut-nakuti pejantan lainnya



III.       DAUR HIDUP KEPITING

Seperti hewan air lainnya reproduksi kepiting terjadi di luar tubuh, hanya saja sebagian kepiting meletakkan telur-telurnya pada tubuh sang betina. Kepiting betina biasanya segera melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi sang betina memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan hingga beberapa bulan lamanya. Telur yang akan dibuahi selanjutnya dimasukkan pada tempat (bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur ini akan ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen).  Jumlah telur yang dibawa tergantung pada ukuran kepiting. Beberapa spesies dapat membawa puluhan hingga ribuan telur ketika terjadi pemijahan. Telur ini akan menetas setelah beberapa hari kemudian menjadi larva (individu baru) yang dikenal dengan “zoea”. Ketika melepaskan zoea ke perairan, sang induk menggerak-gerakkan perutnya untuk membantu zoea agar dapat dengan mudah lepas dari abdomen. Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai plankton dan melakukan moulting beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di dasar perairan sebagai hewan dasar (Prianto, 2007). Daur hidup kepiting dapat dilihat pada Gambar 5.
Daur hidup kepiting meliputi telur, larva (zoea dan megalopa), post larva atau juvenil, anakan dan dewasa (Gambar 5 dan 8). Perkembangan embrio dalam telur mengalami 9 fase (Juwana, 2004). Larva yang baru ditetaskan (tahap zoea) bentuknya lebih mirip udang dari pada kepiting (Gambar 6). Di kepala terdapat semacam tanduk yang memanjang, matanya besar dan di ujung kaki-kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoae ini juga terdiri dari 4 tingkat untuk kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk yang lain lagi (Gambar 6 dan 7). Larva kepiting berenang dan terbawa arus serta hidup sebagai plankton (Nontji, 2002). Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa larva kepiting hanya mengkonsumsi fitoplankton beberapa saat setelah menetas dan segera setelah itu lebih cenderung memilih zooplankton sebagai makanannya (Umar, 2002). Keberadaan larva kepiting di perairan dapat menentukan kualitas perairan tersebut, karena larva kepiting sangat sensitif terhadap perubahan kualitas perairan (Sara, dkk., 2006).
IV.       HABITAT DAN PENYEBARAN KEPITING
Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai kolom di setiap perairan. Sebagaian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis yang hidup dalam ekosistem ini adalah Hermit Crab, Uca sp, Mud Lobster dan kepiting bakau. Sebagian besar kepiting merupakan fauna yang aktif mencari makan di malam hari (nocturnal) (Prianto, 2007).
Kepiting pada fase larva (zoea dan megalopa) hidup di dalam air sebagai plankton. Kepiting mulai kehidupan di darat setelah memasuki fase juvenil dan dewasa seiring dengan pembentukan carapace. Ilustrasi ini dapat dilihat pada Gambar 9, dimana yang menjadi contoh pada gambar tersebut adalah kepiting kelapa. Sedangkan habitat dan penyebaran kepiting (dalam contoh kepiting merah Cancer magister) di estuary dan zona intertidal terlihat pada Gambar 10.   
Kepiting dan rajungan tergolong dalam satu suku (familia) yakni Portunidae dan seksi (sectio) Brachyura. Cukup banyak jenis yang termasuk dalam suku ini. Dr. kasim Moosa yang banyak menggeluti taksonomi kelompok ini mengemukakan bahwa di Indo-Pasifik Barat saja diperkirakan ada 234 jenis, dan di Indonesia ada 124 jenis. Di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu diperkirakan ada 46 jenis. Tetapi dari sekian jenis ini, hanya ada beberapa saja yang banyak dikenal orang karena biasa dimakan, dan tentu saja berukuran agak besar. Jenis yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena terlalu kecil dan hampir tidak mempunyai daging yang berarti. Beberapa jenis yang dapat dimakan ternyata juga dapat menimbulkan keracunan (Nontji, 2002).
Menurut Prianto (2007), bahwa di seluruh dunia terdapat lebih dari 1000 spesies kepiting yang dikelompokkan  ke dalam 50 famili. Sebagian besar kepiting hidup di laut, tersebar di seluruh lautan mulai dari zona supratidal hingga di dasar laut yang paling dalam. Sebagian jenis kepiting ada yang hidup di air tawar. Keanekaragaman kepiting yang paling tinggi ada di daerah tropis dan di selatan Australia, disini lebih dari 100 jenis kepiting telah diidentifikasi.
Konsentrasi maksimum kepiting terjadi pada malam hari pada saat air pasang. Kebanyakan kepiting memanjat akar mangrove dan pohon untuk mencari makan. Pada saat siang hari, waktu pasang terendah kebanyakan kepiting tinggal di dalam lubang untuk berlindung dari serangan burung dan predator lainnya. Beberapa spesies seperti Sesarma erythrodactyla dan Paragrapsus laevis pada saat air surut, turun ke bawah untuk berasosiasi dengan telur-telur ikan.
Kepiting mangrove seperti Scylla serrata (Mud Crab) merupakan hewan yang hidup di wilayah estuaria dengan didukung oleh vegetasi mangrove. Hewan ini merupakan hewan omnivora dan kanibal, memakan kepiting lainnya, kerang dan bangkai ikan. Kepiting ini dapat tumbuh sampai ukuran 25 cm atau dengan berat mencapai 2 kg, dimana kepiting betina ukurannya lebih besar dari yang jantan (DPI & F, 2003).

Selain kepiting atau rajungan, masih banyak jenis lainnya dari seksi Brachyura yang mempunyai ciri-ciri bentuk, sifat-sifat hidup dan lingkungan yang berbeda-beda. Di daerah pasang surut dengan hamparan pasir yang luas di daerah-daerah tertentu dapat ditemukan kepiting Myctyris, nama Inggrisnya adalah soldier crab sedangkan disini sering diberi julukan tentara Jepang. Di pantai dekat Merauke, jika air sedang surut, mereka bisa terlihat bergerak kian kemari di atas pasir, serentak dalam gerombolan besar yang terdiri dari ratusan atau ribuan individu, dengan penuh kewaspadaan. Dengan sedikit saja gangguan, misalnya dengan langkah seseorang yang mendekat, maka tiba-tiba saja mereka akan lenyap seketika secara serempak, memasuki lubang perlindungan. Baru setelah situasi dianggap aman, mereka akan ke luar lagi beramai-ramai hilir mudik di atas pasir (Nontji, 2002).  
V.          KEPITING SEBAGAI KEYSTONE SPECIES

Spesies kunci (keystone species) adalah suatu spesies yang menentukan kelulushidupan sejumlah spesies lain. Dengan kata lain spesies kunci adalah spesies yang keberadaannya menyumbangkan suatu keragaman hidup dan kepunahannya secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan lain (Power & Mills, 1995 dalam Prianto, 2007).

Secara tindak langsung melalui pola tingkah laku dan kebiasaannya, kepiting telah memberikan manfaat yang besar terhadap keberlangsungan proses biologi di dalam ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove. Menurut Prianto (2007), beberapa peran kepiting di dalam ekosistem pesisir, adalah sebagai berikut:
1.            konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi; Kepiting berfungsi menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil (ukuran detritus) sehingga mikrofauna dapat dengan mudah menguraikannya. Hal ini menjadikan adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan detrivor, mikroba sebagai pengurai;
2.            meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah; Lubang yang dibangun berbagai jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan dalam mencari makan. Disamping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi untuk komunikasi antar vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan melewatkan oksigen yang masuk ke substrat yang lebih dalam sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik;
3.            membantu daur hidup karbon; Dalam daur hidup karbon, unsur karbon bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting dalam hal ini sangat penting dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang merupakan jalur biogeokimia karbon, selain dalam proses respirasinya;
4.            penyedia makanan alami; Dalam siklus hidupnya kepiting menghasilkan ratusan bahkan pada beberapa spesies dapat menghasilkan ribuan larva dalam satu kali pemijahan. Larva-larva ini merupakan sumber makanan bagi biota-biota perairan, seperti ikan. Larva kepiting bersifat neuston yang berarti melayang-layang dalam tubuh perairan, sehingga merupakan makanan bagi ikan-ikan karnivora.





VI.       METODE SAMPLING KEPITING

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena ditemukan berbagai ekosistem mulai dari daerah pasang surut, estuaria, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut. Kepiting merupakan biota khas yang hidup di wilayah pesisir terutama di hutan mangrove dan pantai berpasir.
Larva kepiting yang hidup di wilayah perairan tergolong dalam kelompok plankton. Plankton umumnya berukuran kecil, jumlahnya di perairan relatif sangat tidak padat. Oleh karena itu, pengambilan sampel plankton harus dilakukan dengan alat yang dapat menyaring air sedemikian rupa sehingga plankton yang tersaring cukup jumlahnya untuk dianalisis. Untuk keperluan ini alat khusus yang biasa digunakan adalah jaring plankton (plankton net). Setiap mata jaring yang digunakan ukurannya (mesh size) harus berbeda, tergantung dari plankton yang akan dikumpulkan, apakah itu fitoplankton atau zooplankton. Jika yang diinginkan fitoplankton, maka ukuran mata jaring harus kecil, demikian sebaliknya untuk zooplankton (Fachrul, 2007).
Menurut Sara, dkk. (2006) bahwa, sampling larva kepiting (Scylla spp.) di perairan dilakukan dengan menggunakan alat miller net high speed yang dimodifikasi. Spesifikasi alat tersebut yaitu, mata jaring berukuran 300 µm, diameter mulut jaring 20 cm, panjang jaring 100 cm dan panjang lengan (pegangan) 100 cm. Alat sampling ini digunakan dengan cara diayunkan dari atas ke bawah permukaan air terus-menerus selama 10-20 menit dengan kecepatan yang sama. Sampel larva kepiting yang diperoleh difiksasi dengan larutan formalin 4%.
Sedangkan menurut Fachrul (2007), untuk sampling zooplankton yang berukuran besar, seperti larva kepiting, dapat digunakan jaring dengan diameter mulut jaring 0,45 m, panjang 2,10 m dan ukuran mata jaring 0,50 mm. Selain itu juga sampling plankton dapat dilakukan dengan menyaring air sebanyak 100 liter dari lokasi sampling, dengan menggunakan water sampler 10 liter atau penyaringan dapat pula dilakukan dengan menggunakan ember ukuran 5 liter sebanyak 20 kali penyaringan.
Air yang terkumpul kemudian disaring dengan plankton net dimana jaring plankton tersebut telah dilengkapi dengan tabung pengumpul plankton yang mempunyai ukuran 25 ml. Selanjutnya sampel plankton yang terjebak ditampung dalam tabung pengumpul plankton dan diawetkan dengan lugol atau formalin 4% yang telah dinetralkan dengan boraks atau alkohol 70% dan diberi label. Pencacahan zooplankton dilakukan dilaboratorium dengan menggunakan kaca pembesar atau mikroskop dan dihitung berdasarkan jumlah individu yang terlihat.
Sampling juvenil dan kepiting dewasa biasanya dilakukan dengan menggunakan perangkap dengan model yang beraneka ragam. Menurut DPI & F (2005), perangkap kepiting yang digunakan dalam pengambilan sampel berupa pot yang disebar di beberapa lokasi sampling. Tiap-tiap pot diberi nomor yang berbeda-beda sesuai titik sampel untuk memudahkan dalam identifikasi lokasi. Selain itu juga sampling kepiting dewasa dapat dilakukan dengan menggunakan perangkap yang terbuat dari kawat atau jaring dimana biasanya di dalam perangkap tersebut diberikan umpan dengan jenis dan jumlah yang sama. Berbagai model perangkap kepiting dapat dilihat pada Gambar 11.     


Gambar 11. Berbagai bentuk perangkap kepiting (Sumber: http://www.fao.org, 2008)

DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2007. Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik Perbenihannya, (Online), (http://www.utkampus.net, diakses 1 Mei 2008)

---------. 2008. Kepiting, (Online), (http://mangrove.unila.ac.id, diakses 21 April 2008).

Davey, K. 2000. Decapod Crabs Reproduction and Development, (Online), (http://www.mesa.edu.au, diakses 1 Mei 2008).

DPI & F. 2003. Fish Guide. Saltwater, Freshwater and Noxious Species, (Online), The Great Outdoors Publications, Brisbane, (www2.dpi.qld.gov.au, diakses 13 Mei 2008).

DPI & F. 2005. Fisheries Long Term Monitoring Program Sampling Protocol Mud Crab: (2000 – 2005), (Online), Department of Primary Industries and Fisheries, (http://www2.dpi.qld.gov.au, diakses 14 Mei 2008).

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

Hsieh, H.L. 2004. Towards Wetland Restoration for the "Wetland Three Musketeers”, A Horseshoe Crab, A Fiddler Crab, and A Coconut Crab, (Online), Research Center for Biodiversity, Academia Sinica, Taipei, (biodiv.sinica.edu.tw, diakses 14 Mei 2008).

Irmawati. 2005. Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau Scylla sp Di Kawasan Mangrove Sungai Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, Lembaga Penelitian UNHAS, (Online), (http://www.unhas.ac.id, diakses 30 April 2008).

Juwana,  S. 2004. Penelitian Budi Daya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman Laboratorium dan lapangan, Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H. & Mangalik, A. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.

Quinitio, E.T. & Parado, E.F.D. 2003. Biology and Hatchery of the Mud Crabs Scylla spp. Aquaculture Extension Manual, (Online), No. 34, SEAFDEC Aquaculture Department, Iloilo, Philippines (rfdp.seafdec.org.ph, diakses 15 Mei 2008).

Rahmawaty. 2006. Upaya Pelestarian Mangrove Berdasarkan Pendekatan Masyarakat (Online), Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, (http://library usu.ac.id, diakses 2 April 2008).

Sara, L. dkk. 2006. Abundance and Distribution Patterns of Scylla spp. Larvae in the Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia, Asian Fisheries Science, (Online), Vol. 19; 331-347, (www.asianfisheriessociety.org, diakses 1 Mei 2008).

Shimek, R.L. 2008. Crabs, (Online), (www.reefkeeping.com, diakses 15 Mei  2008).

Umar, N.A. 2002. Hubungan antara Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton (Kopepoda) dengan Larva Kepiting di Perairan Teluk Siddo Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, (Online), IPB.

www.environment.gov.au. 2007. Red Crabs Gecarcoidea natalis  (Pocock, 1888), (Online), (diakses 15 Mei 2008).

www.fao.org. 2008. Trap Crab, (Online), (diakses 15 Mei 2006).

www.nio.org.gif. 2008. Crab Life Cycle, (Online), (diakses 15 Mei 2006).

www.portofpeninsula.org. 1997. Crab. Washington State Department of Fish & Wildlife, (Online), (diakses 15 Mei 2008).

www.shim.bc.ca. 2008. Red Rock Crab, (Online), (diakses 15 Mei 2008).